MENGAJARKAN BAHASA INGGRIS SEJAK DINI
Dewasa ini bahasa Inggris sudah diakui sebagai bahasa Internasional yang terkemuka karena dianggap menjadi sarana komunikasi terpenting masyarakat Indonesia untuk merespon tuntutan kemajuan zaman. untuk itulah bahasa Inggris sudah diperkenalkan secara luas mulai usia dini baik disekolah-sekolah formal ataupun non-formal. selain itu, kini telah menjamurnya aneka kursus bahasa asing,terutama bahasa Inggris. Tidak hanya untuk orang dewasa tetapi juga anak-anak. Lembaga persekolahan pun kini sudah mulai menerapkan pengajaran bahasa Inggris untuk anak-anak usia dini mulai TK dan Sekolah Dasar sudah secara luas ditawarkan diberbagai sekolah diperkotaan bahkan dipedesaan.
Fenomena seperti itu memacu obsesi para orang tua yang menghendaki anaknya bisa berbahasa Inggris dengan cepat. Mereka berpandangan bahwa semakin dini anak belajar bahasa asing, semakin mudah ia menguasai bahasa itu. karena anak akan cepat sekali menangkap apa yang didengar dan dilihatnya, dan akan tertanam dibawah sadarnya. pada saatnya nanti memori bawah sadar ini akan muncul kembali manakala ada pemicunya/stimulasinya.
Masa Emas Belajar Bahasa
Beberapa pakar ahli bahasa mendukung pandangan "semakin dini anak belajar bahasa asing, maka akan semakin mudah anak menguasai bahasa tersebut". Misalnya, McLaughlin dan Genesee menyatakan bahwa "anak-anak lebih cepat memperoleh bahasa tanpa banyak kesukaran dibandingkan dengan orang dewasa". Demikian pula Eric H. Lennenberg, seorang ahli neurologi, berpendapat bahwa " sebelum masa pubertas,daya pikir(otak) anak lebih lentur.
Maka dari, banyak para ahli yang menyatakan bahwa belajar bahasa pada usia dini merupakan masa emas atau paling ideal untuk belajar bahasa selain bahasa Ibu. Alasannya karena otak anak masih plastis dan lentur, sehingga proses penyerapan bahasa lebih mulus. Dan daya penyerapan bahasa pada anak berfungsi secara otomatis. sedangkan, Masa emas itu sudah tidak dimiliki oleh orang dewasa.
Namun, bukan berarti orang dewasa tidak mampu menguasai bahasa kedua (bahasa asing). Lenneberg mengemukakan, orang dewasa dengan inteligensia rata-rata pun mampu mempelajari bahasa kedua selewat usia 20 tahun. Bahkan ada yang mampu belajar berkomunikasi bahasa asing pada usia 40 tahun. Kenyataan itu tidaklah bertentangan dengan hipotesis mengenai batasan usia untuk penguasaan bahasa karena penataan bahasa pada otak sudah terbentuk pada masa kanak-kanak. Hanya saja lewat masa pubertas terjadi “hambatan pembelajaran bahasa” (language learning blocks).
Pro-Kontra Periode Kritis
Masa ideal anak belajar bahasa bertolak dari apa yang disebut periode kritis bagi penguasaan bahasa ibu. Periode kritis sebenarnya masih berupa hipotesis bahwa dalam perjalanan hidup manusia terdapat jadwal biologis yang menentukan masa-masa kegiatan seseorang (Brown, 1994).
Periode kritis sering dihubung-hubungkan dengan proses pembelahan antara otak kiri dengan otak kanan. Hasil penelitian neurologis menyebutkan, pada usia menjelang dewasa, fungsi-fungsi kemanusiaan terbagi atas dua bagian. Fungsi intelektual, logika, analisis, dan kemampuan berbahasa berada pada otak bagian kiri.
Sedangkan fungsi yang berhubungan dengan emosi dan fungsi lain yang bersifat sosial dikendalikan oleh belahan otak kanan. Ketika memasuki proses pembelahan otak itulah, menurut para pakar anatomi bahasa, masa peka bahasa itu berlangsung. Setelah proses "penyebelahan" (lateralization) otak selesai, menurut hipotesis Lenneberg, perkembangan bahasa cenderung menjadi "beku". Keterampilan dasar yang belum dapat dicapai pada masa itu (kecuali untuk artikulasi) biasanya akan tetap tidak sempurna.
Sejak masuk SD bahkan TK, anak sudah "dituntut" menguasai lebih dari satu bahasa; bahasa daerah dan Indonesia. Keduanya dipakai sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar-mengajar. Betapa beratnya beban mereka, bila kemudian masih ditambah lagi belajar bahasa Inggris. Empat bahasa harus mereka kuasai dalam satu periode, misalnya.
Kenyataan itu bukannya menambah cepat anak menguasai bahasa asing. Di samping akan menimbulkan beban psikologis, tak tertutup kemungkinan laju perkembangan bahasa daerah dan nasional anak pun malahan terhambat, atau justru merusak sistem-sistem bahasa yang terlebih dahulu dia kuasai.
Hal seperti itu tidak jauh berbeda dengan anak yang sedang belajar bola tangan. Sebelum ia mahir bermain bola tangan, lalu ditimpa lagi dengan permainan bola basket dan sepak bola. Pelatih tidak perlu heran apabila kemudian si anak memasukkan bola dengan tangan ketika bertanding sepak bola, atau menyundul dan menendang bola ketika anak bermain bola basket.
Jeperson jauh-jauh sebelumnya memperingatkan bahwa anak yang mempelajari dua bahasa tidak akan dapat menguasai kedua bahasa itu dengan sama baiknya. Juga tak akan sebaik mempelajari satu bahasa. Kerja otak untuk menguasai dua bahasa akan menghambat anak untuk mempelajari hal lain yang harus dia kuasai.
Perkembangan bahasa anak terganggu, baik dalam penggunaan kosa kata, struktur tata bahasa, bentuk kata, dan beberapa penyimpangan bahasa lainnya. Tidak terelakkan, dalam era global penguasaan bahasa Inggris hukumnya wajib. Siapa yang ingin luas pergaulan, sukses berbisnis, maupun menguasai ilmu pengetahuan mau tidak mau harus menguasai bahasa yang satu ini.
Namun, dalam penanaman kita dituntut sikap bijak dan tidak tergesa-gesa. Di samping perlu mempertimbangkan kemampuan anak, para orang tua hendaknya memperhatikan pula kepentingan anak akan penguasaan bahasa daerah dan nasional.
Kedua bahasa itu tidak bisa dilepaskan begitu saja dari fungsi keseharian dan tanggung jawab sosial anak. Sebab itu, akan lebih baik bila bahasa Inggris atau bahasa asing lain diberikan setelah bahasa daerah dan bahasa nasional terkuasai secara mantap. Pengajaran bahasa asing dalam usia dini toh bukan jaminan mutlak keberhasilan berbahasa pada anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar